Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Indonesia Terkini

latest

Responsive Ad

Kembali Pada Romantisme Politik Masa Lampau

Kembali Pada Romantisme Politik Masa Lampau Kembali Pada Romantisme Politik Masa Lampau Bagaimana Anda memilih pemimpin atau an...

Kembali Pada Romantisme Politik Masa Lampau

Deutsche Welle Kembali Pada Romantisme Politik Masa Lampau

Bagaimana Anda memilih pemimpin atau anggota DPR? Apakah lebih karena kagum pada sosoknya, sudah lama 'nge-fans' atau ada kriteria…

Seandainya saja pemerintahan Orde Baru tidak melakukan kebijakan babat alas terhadap nama dan jejak politik Sukarno, mungkin sepanjang tahun 1970-an jargon "enak zamanku toh?” yang bersanding dengan gambar-gambar Sukarno akan muncul di mana-mana.

Pasalnya, dalam periode itu semakin terlihat bahwa ekses-ekses demokrasi kian tunduk kepada kuasa tentara, bukan sebaliknya. Puncaknya pada 1974 ketika Malapetaka Limabelas Januari (Malari) terjadi, saat Suharto, seperti ditulis aktivis mahasiswa sezaman, Arief Budiman, m enggunakan cara-cara otoriter untuk melumpuhkan kelompok cendekiawan atau mahasiswa dan ‘bercerai' dengan angan-angan masyarakat madaninya.

Kata ‘seandainya' dan ‘mungkin' tidaklah koheren jika membicarakan sejarah, walau hal itu sah-sah saja selama masih bertendensi imajinatif. Skenario tersebut terbilang potensial mengingat Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) tidak menyinggung pelengseran Sukarno secara eksplisit, namun lebih merupakan petisi reformasi politik-ekonomi. Peran politik Sukarno (atau setidaknya kharismanya) di kalangan elite maupun massa belum tercoreng parah, romantisme terhadap Sukarno masih membekas.

Atau jika ingin keluar dari skenario imajinatif, lihat saja dinamika politik saat ini. Foto-foto Sukarno, juga mereka-mereka yang merupakan mantan pemimpin Indonesia seperti Suharto, Gus Dur, B.J. Habibie, bahkan tokoh-tokoh historis lainnya dengan warisan sejarahnya yang kental semisal KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari sejak dua tahu n belakangan muncul dalam berbagai alat peraga kampanye politik, khususnya dalam menyambut kontestasi Pilkada.

Apakah ini hanyalah sebuah tren musiman yang muncul pada saat politik nasional mencapai momentum puncaknya, atau dapat dibaca lebih jauh sebagai bentuk kemandekan asa pembaharuan politik orang-orang Indonesia?

Larangan yang Tepat Sasaran

Sesungguhnya mengidolakan, bahkan secara politis, figur-figur sejarah adalah hak semua orang tanpa terkecuali. Masa lalu adalah teritori bersama yang tak bisa dipatok-patok untuk diklaim pribadi. Namun, tentu juga ada konteks-konteks sezaman yang disetujui bersama (atau mayoritas) sebagai pembatas, yang bisa menguntungkan atau mengganjal. Misalnya saja, memajang foto D.N. Aidit di masa sekarang sama saja dengan mengundang masalah, namun di masa depan ketika misteri Peristiwa 1965 terungkap dan reputasi politik PKI tidak lagi dihina-dina, hal itu mungkin menjadi sah-sah saja.

Harus diakui, bahwa nilai ketok ohan tokoh-tokoh di atas, khususnya Sukarno dan Suharto sebagai pusat dari spektrum politik nasional di masanya masing-masing, terlalu berkesan untuk dihapus dari ingatan. Sukarno masih menjadi semacam figur ideologis dan ikon bagi PDI-P, sebagaimana Suharto dan senyum khasnya yang masih laku memikat publik, seperti yang dahulu kerap ditampilkan Golkar dan kini diadopsi oleh Partai Berkarya pimpinan sang anak, Tommy Suharto.

Karena itulah, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota mengenai peraturan pemasangan foto-foto tokoh-tokoh kebangsaan menjadi menarik untuk dicermati. PKPU tersebut menyebutkan bahwa tokoh-tokoh bangsa yang tidak ada kaitan formal dengan kepengurusan partai-partai peserta Pilkada dilarang untuk ditampilkan dalam alat-alat peraga kampanye Pilkada. Lantas, peraturan ini memicu respon dari banyak khalayak politik.

Yan g menolak berargumen bahwa seharusnya sah-sah saja foto-foto tokoh-tokoh sejarah tersebut dipasang karena hajat mereka sebagai figur kebangsaan yang inspiratif, dan larangan tersebut dianggap akan menjadi semacam hambatan psikologis bagi para kader politik saat mereka melakukan kampanye. Sedangkan yang mendukung menyatakan bahwa larangan tersebut tepat karena sudah waktunya partai-partai fokus dalam menawarkan program-program kerja bermutu alih-alih menggoda para pemilih dengan romantisme masa lampau semata.

Bahkan, dipasangnya wajah-wajah tokoh-tokoh kebangsaan tersebut bisa menjadi problematik, setidaknya dalam contoh kasus Suharto di masa-masa reformasi ini. Reformasi adalah sebuah kesempatan untuk memperbaiki negara ini dari segala warisan politik otoriter Orde Baru yang busuk, dan mengambil pelajaran berharga untuk tidak mengulanginya. Sehingga, beragam upaya glorifikasi terhadap Suharto dan penempatannya sebagai sebuah ikon politik yang ideal dan diwacanakan dalam kont eks-konteks politik kontemporer rasanya mengingkari semangat reformasi itu sendiri.

Halaman selanjutnya 12 Sumber: Deutsche Welle Ikuti kami di Perjuangan Wanita Hamil Selamat dari KM Sinar Bangun, Sempat Pegangan Tangan, Suami Belum Ditemukan Sumber: Google News

Reponsive Ads